Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
—-
PANTAI utara Sampang kini tidak hanya berisi riuh ombak dan jaring nelayan. Di antara perahu yang mengejar ikan demi nafkah, ada kemarahan yang belum terselesaikan.
Para nelayan merasa dikhianati oleh janji ganti rugi atas rusaknya rumpon akibat survei seismik 3D Petronas Carigali Indonesia. Tepatnya, di Lapangan Hidayah, Wilayah Kerja North Madura II, Agustus 2024. Nilai kerugian ditaksir mencapai Rp21 miliar.
Namun hingga kini, mereka tidak menerima sepeser pun. Ironisnya, dana kompensasi itu justru diduga dikorupsi dan kini bergulir di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Masyarakat pantura hidup dalam ketidakpastian. Mereka kecewa dan merasa dipermainkan oleh mekanisme ganti rugi yang tidak jelas. Kegeraman itu akhirnya meledak.
Ratusan nelayan mengepung kapal yang diduga milik Petronas di tengah laut. Di tepi pantai, ratusan ibu-ibu berteriak menolak survei seismik dan eksplorasi migas.
Aksi mereka bukan semata amarah spontan, melainkan perlawanan terhadap ketimpangan antara modal besar dan masyarakat kecil.
Lapangan Hidayah sebenarnya menyimpan potensi besar. Berdasarkan data SKK Migas, cadangan minyak di lapangan itu mencapai 88,55 juta barel. Target produksi awalnya 9.000 hingga 10.000 barel per hari.
Investasi yang ditanamkan mencapai Rp56 triliun. Produksi komersial ditargetkan akhir 2026. Semua itu adalah bagian dari strategi nasional untuk memperkuat ketahanan energi. Namun, potensi besar itu kini dibayangi krisis kepercayaan.
Dalam teori ekonomi sosial, situasi ini adalah benturan antara kekuatan modal dan kekuatan sosial masyarakat lokal. Negara membutuhkan investasi untuk menjaga pasokan energi.
Tetapi masyarakat juga membutuhkan keadilan dan pengakuan atas hak mereka. Mereka tidak menolak pembangunan. Mereka hanya menuntut agar kerugian mereka diganti dan kehidupan mereka dihargai.
Keadilan sosial memiliki tiga pilar utama. Pertama, keadilan prosedural, agar proses ganti rugi dilakukan secara terbuka. Kedua, keadilan distributif, agar manfaat dan beban dibagi secara adil. Ketiga, keadilan restoratif, agar kerusakan lingkungan segera diperbaiki.
Tiga bentuk keadilan itu belum hadir di pantura Sampang. Transparansi kompensasi tidak ada. Manfaat ekonomi belum dirasakan. Kerusakan laut tetap dibiarkan.
Ketika ruang dialog tertutup dan hukum melemah, kepercayaan masyarakat pun runtuh. Mereka berubah dari mitra pembangunan menjadi pihak yang berseberangan. Proyek besar migas sering kali melupakan konteks sosial di sekitarnya.
Aktivitas eksplorasi memang menciptakan nilai ekonomi. Namun juga menimbulkan dampak sosial dan ekologis. Jika tidak ada mekanisme pemulihan, beban itu jatuh ke masyarakat kecil.
Keadilan sosial seharusnya menjadi dasar utama kebijakan hulu migas. Pemerintah dan Petronas Carigali harus segera menyelesaikan kompensasi rumpon dengan transparan dan adil.
Masyarakat nelayan harus dilibatkan dalam pengawasan, pelatihan, dan pemberdayaan ekonomi. Pembangunan tidak hanya soal produksi minyak, tetapi juga kesejahteraan manusia.
Madura tidak boleh menjadi contoh dari paradoks sumber daya, di mana kekayaan alam justru melahirkan kemiskinan. Lapangan Hidayah bisa menjadi simbol kemajuan jika perusahaan dan negara menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan.
Nelayan pantura bukan penghalang eksplorasi. Mereka adalah penjaga laut yang selama ini memastikan ekosistem tetap hidup. Di bawah langit pantura, mereka menunggu keadilan yang nyata.
Bukan keadilan yang hanya disebut dalam laporan dan pidato. Jika potensi energi Madura ingin menjadi berkah, maka keadilan bagi nelayan harus dimulai sekarang. Bukan setelah semuanya terlambat. Maaf. (*)
——
Penulis juga Ketua Umum Ikatan Alumni Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo Madura (UTM).