Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
——
PULAU Sapudi bukan hanya gugusan kecil di timur Madura. Ia adalah tanah yang tenang, penuh ternak, dan laut biru yang menyimpan kehidupan. Namun beberapa tahun terakhir, ketenangan itu kerap terusik.
Gempa bumi datang silih berganti. Mengguncang rumah-rumah sederhana, menakutkan anak-anak, dan menimbulkan satu tanya yang bergema dari bibir nelayan hingga ruang kuliah. Apakah gempa ini akibat aktivitas pengeboran migas di sekitar perairan Sapudi?
Pertanyaan itu bukan sekadar bisik di warung kopi. Ia adalah kegelisahan kolektif yang lahir dari fakta lapangan. Banyak warga menyaksikan bahwa ketika aktivitas eksplorasi migas meningkat, bumi di bawah kaki mereka seolah ikut gelisah.
Rumah retak, dinding bergoyang, dan suara tanah seperti mengerang. Di tengah keterbatasan informasi, masyarakat mencoba menyambungkan titik-titik itu, hingga kemudian para pemuda bergerak meminta data injeksi fluida kepada SKK Migas.
Secara ilmiah, hubungan antara pengeboran migas dan gempa bumi bukan teori konspirasi. Dunia sains sudah lama mengenal istilah induced seismicity.
Yakni, gempa yang dipicu oleh aktivitas manusia. Dalam literatur geofisika (Foulger et al., Science, 2018), fenomena ini diakui sebagai konsekuensi logis dari perubahan tekanan fluida di bawah permukaan bumi.
Ketika cairan disuntikkan atau diambil dari formasi batuan, tekanan pori naik atau turun, mengubah keseimbangan gaya geser di bidang patahan. Patahan yang sebelumnya “tidur” bisa tergelincir, dan bumi pun bergetar, bukan karena murka alam, melainkan karena tekanan tangan manusia.
Kita tidak bicara teori kosong. Lihatlah Groningen di Belanda. Selama puluhan tahun, gas bumi diambil tanpa henti dari perut bumi. Sejak itu, ratusan gempa kecil hingga menengah mengguncang wilayah tersebut.
Rumah-rumah retak, ribuan warga menuntut kompensasi, dan pemerintah akhirnya memutuskan untuk menghentikan operasi lapangan gas terbesar di Eropa itu. (Van der Voort & Vanclay, Energy Policy, 2015).
Ilmu pengetahuan berbicara tegas. Penurunan tekanan di reservoir gas mengubah medan tegangan bumi dan memicu gempa. Kasus Groningen menjadi pelajaran mahal bahwa bumi bukan ruang hampa yang bisa dieksploitasi tanpa konsekuensi.
Hal serupa terjadi di Oklahoma, Amerika Serikat, di mana ribuan gempa mikro terjadi bukan karena pergerakan lempeng, melainkan akibat injeksi air limbah hasil produksi minyak. Ketika injeksi dihentikan, frekuensi gempa pun menurun drastis. (Keranen et al., Science, 2014).
Bukti ilmiah yang kuat menunjukkan bahwa bumi memiliki “memori” atas apa yang kita lakukan padanya. Ia merespons, kadang dengan lembut, kadang dengan murka.
Lalu, bagaimana dengan Pulau Sapudi? Secara tektonik, kawasan Madura memang berada dalam zona yang aktif, dipengaruhi oleh interaksi Lempeng Indo-Australia dan Eurasia di selatan Jawa.
Namun, jika di sekitar Sapudi terdapat aktivitas pengeboran atau injeksi migas dengan tekanan tinggi, maka potensi pemicu gempa tambahan tetap mungkin terjadi.
Yakni, adanya patahan yang sudah “kritis”, perubahan tekanan pori akibat aktivitas manusia, dan korelasi waktu antara operasi dan getaran. Ketiganya, jika berjumpa, dapat menjadi kombinasi yang mematikan.
Sayangnya, hingga kini belum ada penelitian komprehensif yang memetakan keterkaitan itu di Sapudi. Tidak ada publikasi ilmiah terbuka yang memadukan data seismik, tekanan fluida, dan catatan waktu pengeboran.
Padahal, transparansi data adalah kunci untuk menjawab keresahan publik. Tanpanya, masyarakat akan terus berspekulasi, dan spekulasi adalah pupuk bagi ketidakpercayaan.
Sains mengajarkan bahwa setiap getaran memiliki cerita. Jika bumi Sapudi bergoyang, kita wajib bertanya dengan dua cara, ilmiah dan manusiawi. Ilmiah, agar tidak mudah menuduh tanpa bukti.
Manusiawi, agar tidak menutup telinga terhadap jeritan warga yang rumahnya runtuh. Dua pendekatan ini harus berjalan beriringan, sebab pengetahuan tanpa empati hanyalah angka, dan empati tanpa pengetahuan hanyalah rasa takut.
Dalam konteks kebijakan publik, pengeboran migas tidak boleh lagi dianggap sebagai aktivitas teknis semata. Ia adalah intervensi terhadap sistem bumi yang kompleks dan berdampak sosial.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah daerah, perusahaan migas, dan akademisi duduk bersama membangun sistem pemantauan seismik di kawasan Madura, khususnya Sapudi.
Stasiun seismik harus dipasang, data harus dibuka, dan publik perlu diberi akses untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di bawah tanah mereka sendiri. Keterbukaan bukan ancaman bagi industri, justru ia menjadi pelindung kepercayaan publik.
Pulau Sapudi adalah cermin kecil dari dilema besar bangsa ini. Antara eksploitasi dan keseimbangan, antara kebutuhan energi dan keselamatan rakyat.
Kita butuh energi, iya. Tapi kita juga butuh bumi yang stabil dan masyarakat yang tenang tidur di malam hari. Jika bumi sudah berbicara lewat gempa, mungkin yang ia minta sederhana. “Hargailah aku, pahamilah aku, dan jangan lagi menyakitiku tanpa sadar,”.
Jika benar gempa di Sapudi memang memiliki kaitan dengan aktivitas migas, maka sejarah akan mencatat bukan hanya gempa yang mengguncang tanah, tapi juga kesadaran yang mengguncang nurani.
Sebab, tak ada pembangunan yang layak disebut kemajuan bila di atasnya berdiri reruntuhan rumah rakyat dan ketakutan anak-anak. Maaf! (*)