Oleh: Prengki Wirananda, Pemimpin Redaksi Klik Madura.
——
MADURA punya delapan kursi di DPR RI. Jumlah yang tidak sedikit untuk sebuah pulau dengan empat kabupaten: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Delapan kursi itu dibawa oleh wajah-wajah yang penuh janji ketika kampanye. MH. Said Abdullah, Ansari, Willy Aditya, Dr. Eric Hermawan, H. Syafiuddin, Slamet Ariyadi, R.H. Imron Amin, dan R.H. Hasani bin Zuber.
Mereka resmi dilantik pada 1 Oktober 2024. Mereka berdiri gagah, disaksikan kamera nasional, disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung. Mereka bersumpah mewakili rakyat Madura.
Tapi satu tahun kemudian, rakyat bertanya, mana bukti sumpah itu? Sebab kehidupan di Madura masih sama saja. Jalan berlubang dari Bangkalan menuju Sampang masih jadi cerita lama yang belum tamat.
Pupuk langka masih menghantui para petani. Nelayan pulang melaut tanpa kepastian harga ikan. Buruh tani masih menggenggam upah yang tidak cukup membeli beras.
Anak-anak sekolah masih belajar di ruang kelas yang atapnya bocor, kursinya reyot, dan papan tulisnya pecah. Di rumah sakit kabupaten, pasien masih antre berjam-jam hanya untuk sekadar mendapat obat generik yang itu-itu saja.
Madura, yang katanya bagian dari Jawa Timur, masih terasa jauh dari kata “timur” yang maju. Lebih dekat pada kata “tertinggal” yang memalukan dan tak lepas dari jeratan kemiskinan.
Badan Pusat Statistik sudah lama menulis data yang pahit. Indeks Pembangunan Manusia di empat kabupaten itu masih nyaman duduk di peringkat terbawah Jawa Timur. Angka kemiskinan ekstrem masih menjerat puluhan ribu keluarga.
Anak-anak dengan gizi buruk masih jadi berita rutin media lokal. Sementara di televisi, para wakil rakyat tampil dengan setelan jas rapi, bicara tentang kemajuan bangsa. Bangsa mana? Sebab Madura tampaknya tidak masuk dalam daftar itu.
Di Senayan, delapan legislator itu duduk di ruang ber-AC, ikut rapat fraksi, dan berbicara tentang UU yang kadang jauh dari kebutuhan dapilnya. Di Madura, rakyat yang memilih mereka sibuk menghadapi kenyataan: harga garam jatuh, petani tembakau merugi, nelayan tidak punya akses permodalan. Lalu di mana suara mereka?
Ironinya, setiap kali pulang kampung, yang dibawa sering kali hanya bantuan seremonial. Sembako dalam kardus. Bantuan modal dengan jumlah kecil. Spanduk ucapan selamat hari besar. Foto bersama kepala desa. Semua itu baik, tapi terlalu kecil untuk sebuah jabatan yang berada di Senayan, dengan akses langsung ke APBN triliunan rupiah.
Madura bukan hanya butuh sembako. Madura butuh industrialisasi garam agar harga tidak selalu dipermainkan tengkulak. Madura butuh jalan tol yang benar-benar sampai ke pelosok.
Madura butuh rumah sakit modern sehingga pasien tidak perlu lari ke Surabaya untuk sekadar operasi sederhana. Madura butuh sekolah vokasi yang serius agar anak-anaknya bisa bersaing di dunia kerja.
Apakah itu sulit diperjuangkan? Tidak. Daerah lain bisa. Papua bisa menuntut otonomi khusus. Sulawesi Utara bisa mendapatkan anggaran besar untuk pariwisata. Kalimantan bisa mendapat proyek Ibu Kota Negara.
Mengapa Madura tidak bisa? Jawabannya sederhana: karena delapan orang itu tidak pernah benar-benar bersatu. Mereka sibuk dengan partainya masing-masing. Mereka lebih sering menjadi wakil partai ketimbang wakil rakyat.
Padahal kalau mereka mau, suara delapan orang cukup keras di Senayan. Cukup untuk menggetarkan meja anggaran. Cukup untuk memaksa kementerian duduk mendengar. Tapi delapan suara itu pecah, larut dalam disiplin fraksi. Madura pun tetap terpinggirkan.
Di warung kopi, rakyat masih mengeluh. “Apa gunanya punya wakil kalau hidup tetap begini?” Pertanyaan sederhana itu sebetulnya lebih tajam daripada kritik akademik manapun. Sebab mereka merasakannya langsung.
Mereka melihat anak-anaknya harus mengubur mimpi melanjutkan studi di perguruan tinggi karena keterbatasan biaya. Mereka merasakan harga kebutuhan pokok yang terus naik, sementara penghasilan tak pernah berubah.
Masyarakat Dusun Mandar, Desa Sukajeruk, Kecamatan/Pulau Masalembu, Sumenep harus mendengar tetangganya meninggal dunia di atas kapal saat hendak di rujuk ke rumah sakit di daratan. Di perutnya ada bayi yang menjadi saksi dan bukti bahwa layanan kesehatan di kepulauan belum memadai.
Di titik itu, janji kampanye berubah jadi ironi. Wakil rakyat lebih sering muncul di baliho ketimbang di lapangan memperjuangkan aspirasi. Lebih sering bersuara di televisi ketimbang di meja anggaran. Lebih sering hadir saat pemilu ketimbang dalam keseharian rakyat.
Tentu, para politikus punya dalih. Kebijakan anggaran rumit. Tidak semua bisa instan. Tapi rakyat tidak makan dalih. Rakyat butuh bukti. Kalau Papua bisa, kenapa Madura tidak? Kalau daerah lain bisa bersatu, kenapa Madura tidak?
Delapan legislator itu masih punya waktu empat tahun lagi. Tapi kalau pola ini terus berulang, lima tahun nanti Madura tetap saja jadi catatan kaki. Delapan kursi itu tetap akan ada. Tapi suara perjuangan untuk Madura tetap nol.
Mungkin rakyat Madura sudah terlalu sering bersabar. Tapi kesabaran juga ada batasnya. Satu hal yang pasti: sejarah akan mencatat, apakah delapan nama itu benar-benar pernah memperjuangkan Madura, atau hanya sekadar berleha-leha di Senayan sambil menunggu masa habis jabatan.
Sebab pada akhirnya, pertanyaan itu tetap menggantung di udara, menyakitkan sekaligus menggelitik: apa gunanya punya wakil, kalau rakyat tidak merasa diwakili? Maaf! (*)