Belajar Tulus dari Hati Suhita

- Jurnalis

Minggu, 14 September 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.

—–

HIDUP sering kali mempertemukan kita dengan persimpangan yang tak pernah kita pilih. Ada saat di mana hati harus belajar tunduk pada takdir, meski logika enggan menerima. Novel Hati Suhita karya Khilma Anis menghadirkan cermin tentang cinta yang tak selalu sejalan dengan harapan, tetapi justru membentuk kedewasaan jiwa.

Dalam kisahnya, tokoh-tokoh bergerak di antara gejolak batin, benturan tradisi, dan pergulatan perasaan. Namun, bukankah itu pula yang kita alami sehari-hari?

Kisah Alina Suhita—atau biasa dipanggil Suhita—membawa kita menyelami perihal kesetiaan hati. Ia dinikahkan dengan Gus Birru, lelaki yang masih terikat dengan masa lalunya. Situasi itu membuat Suhita bagai hujan yang jatuh di tanah gersang. Hadir penuh ketulusan, tetapi tak segera diserap.

Dalam sebuah penggalan, ia berkata, “Aku harus tetap berpura-pura harmonis walau perang dalam batinku berkecamuk setiap detiknya. Aku harus menanggung lukaku sendiri. Tabah mengobati dukaku sendiri karena ini adalah tirakatku. Karena ini adalah jalan menuju kemuliaanku.”

Dari sini kita belajar bahwa cinta bukan sekadar tentang menerima balasan, melainkan tentang keberanian menjaga perasaan dengan kesabaran. Dalam keseharian pun, banyak orang yang harus ikhlas menunggu pengakuan.

Seorang pegawai yang menanti apresiasi, seorang anak yang menunggu restu orang tua, atau seorang istri yang menanti suami benar-benar hadir.

Novel ini seakan berbisik, bahwa kebahagiaan bukan hasil dari segera dimilikinya sesuatu yang kita inginkan, melainkan kemampuan hati untuk tetap teduh ketika angin menampar kencang.

Baca juga :  Kumpulan Puisi Fardan,d 

Suhita berkata lirih dalam kelelahan, “Aku duduk bersimpuh. Meluruhkan segala luka. Inilah aku, Alina Suhita, yang datang ke puncak gunung. Sendiri. Aku lelah lahir batin karena merasa tujuh bulan perjuanganku sia-sia. Aku mengaji dalam tangis yang tak bisa kubendung lagi.”

Kutipan ini mengajarkan bahwa diam pun bisa menjadi doa, dan menahan diri bisa lebih indah daripada berteriak. Dalam dunia nyata, saat usaha belum membuahkan hasil atau doa seolah menggantung di langit, kita juga harus terus berjalan, bukan berhenti.

Ada hal menarik dari bagaimana Suhita memandang pernikahan. Ia tidak sekadar menjalani kewajiban sosial, tetapi menenun cinta dengan doa dan pengabdian.

“Tapi aku tidak boleh larut dalam tangis. Namaku Alina Suhita. Suhita adalah nama pemberian kakek dari ibuku. Ia ingin aku seperti Dewi Suhita. Perempuan tangguh yang pernah memimpin kerajaan sebesar Majapahit.”

Kekuatan identitas ini mengingatkan kita bahwa rumah tangga bukan hanya soal romantika, melainkan juga tentang kehormatan dan perjuangan. Banyak pasangan muda kini mudah menyerah hanya karena perbedaan kecil. Padahal, sebagaimana Suhita, cinta justru diuji saat badai datang. Bukankah pelangi baru muncul setelah hujan?

Gus Birru sendiri adalah potret banyak laki-laki dalam kehidupan nyata. Terkadang mereka mencintai masa lalu, terjebak dalam kenangan yang tak mau pergi. Ia digambarkan sebagai lelaki baik, tetapi enggan membuka pintu hati sepenuhnya untuk istri sahnya.

Baca juga :  Kumpulan Sajak Nuril Izza Afgarina

Suhita menuturkan kegelisahannya lalu berkata, “Di hadapanku ada lelaki itu. Suamiku. Tapi hatinya entah ada di mana. Aku istri, tetapi hanya sebatas nama. Aku merasa seperti tamu di rumah sendiri.”

Betapa banyak rumah tangga hari ini yang hancur karena hati tidak bisa berpaling dari masa lalu? Dari sini kita belajar, bahwa mencintai seseorang artinya juga melepaskan apa yang seharusnya ditinggalkan. Sebab, “cinta sejati tak bisa hidup di antara dua bayangan.”

Setiap tokoh dalam Hati Suhita menghadirkan renungan. Di luar kisah cinta, ada persoalan tradisi, kehormatan keluarga, dan beban moral. Suhita memilih jalan sabar. Ia membuktikan bahwa kekuatan perempuan bukan pada seberapa keras ia melawan, tetapi seberapa lembut ia bertahan. Kelembutan, bila dipadukan dengan doa, sering kali lebih tajam daripada pedang.

Jika direnungkan, novel ini bukan sekadar kisah romansa, melainkan risalah tentang makna ikhlas. Suhita bahkan mengingatkan dirinya sendiri, “Aku belajar bahwa cinta sejati tidak melulu tentang memiliki. Kadang ia tentang merelakan, tentang melepaskan, tentang diam yang menyimpan doa.”

Dalam kehidupan kita, ikhlas kerap menjadi obat yang terlupakan. Kita sibuk mengejar, sibuk menuntut, hingga lupa bahwa hati hanya bisa lapang jika mampu melepas. Hati Suhita mengajarkan bahwa keikhlasan itu bukan tanda kalah, tetapi tanda menang atas diri sendiri.

Di era modern yang serba cepat, pesan Hati Suhita terasa semakin relevan. Banyak orang kini mendambakan cinta instan, pernikahan cepat, dan kebahagiaan tanpa luka. Padahal, kehidupan tak selalu semudah mengetik pesan di layar gawai. Ada luka yang perlu dijahit dengan sabar, ada hati yang perlu ditempa dengan ikhlas.

Baca juga :  Antara Komitmen dan Setia

Suhita menunjukkan, bahwa perjalanan cinta adalah proses—dan proses itu tak bisa dilompati. Di warung kopi, kita sering mendengar kisah kawan yang gagal move on, atau sahabat yang bertahan dalam rumah tangga yang rapuh.

Mereka butuh teladan, bukan nasihat kosong. Novel Hati Suhita bisa menjadi teladan itu. Bahwa bertahan bukan selalu berarti lemah, dan mengalah bukan berarti kalah. Justru, kadang mengalah adalah cara paling dewasa untuk memenangkan cinta yang lebih hakiki.

Hidup memang tak selalu memberi yang kita mau. Ada jalan berliku yang harus dilalui. Namun, seperti Suhita, kita bisa belajar menanam cinta di tanah yang keras, dengan keyakinan bahwa suatu saat bunga akan mekar juga.

Ia berkata dalam hening, “Aku percaya, jika doa sudah sampai pada waktu yang ditentukan, cinta pun akan menemukan jalannya sendiri.”

Dari situlah, kita menemukan kedamaian. Sebab pada akhirnya, cinta yang tulus akan menemukan jalannya sendiri.

Maka, jika ada satu hikmah yang bisa kita petik dari Hati Suhita, itu adalah: belajarlah tulus. Sebab ketulusan adalah bahasa semesta, yang membuat hidup tidak sekadar berjalan, melainkan berarti. Dan di balik setiap luka, selalu ada cahaya yang menunggu untuk menyembuhkan. Maaf! (*)

Berita Terkait

Kumpulan Sajak Nuril Izza Afgarina
[CERPEN] You Can Call Me, Saaa…
Antara Komitmen dan Setia
Kumpulan Puisi Fardan,d 
Sepucuk Harapan M. Yamin
Aroma Kemerdekaan
Penyesalan Masa Tua
Hidup Menjadi Anak Garam

Berita Terkait

Minggu, 14 September 2025 - 01:35 WIB

Belajar Tulus dari Hati Suhita

Sabtu, 13 September 2025 - 04:33 WIB

Kumpulan Sajak Nuril Izza Afgarina

Sabtu, 16 Agustus 2025 - 10:05 WIB

[CERPEN] You Can Call Me, Saaa…

Selasa, 12 Agustus 2025 - 07:35 WIB

Antara Komitmen dan Setia

Senin, 14 Juli 2025 - 19:18 WIB

Kumpulan Puisi Fardan,d 

Berita Terbaru