MALAM itu, hujan turun pelan, mengetuk-ngetuk genting rumah seperti ingin membisikkan sesuatu. Di dalam kamar yang temaram, Syaira duduk di depan cermin. Beragam produk kecantikan dia balurkan ke sekujur tubuhnya.
Harum. Semerbak. Seperti aroma bunga sedap malam yang tumbuh mekar di plafon rumahnya. Hatinya berdegup kencang. Seperti ada teriakan. Memanggil nama Nur Amin, suaminya.
Syaira menginjak usia 40 tahun. Wajahnya berseri, matanya bening seperti embun subuh di teras pesantren. Semua orang mengenalnya sebagai ustazah yang pandai, ramah, namun tegas.
Dia sangat pandai bersolek. Kulitnya cerah dan lembut. Peeling, filler hingga ratus menjadi rutinitas yang dia lakukan untuk terus menjaga anugerah yang Tugan berikan. Dia betul-betul menyiapkan surga dunia bagi suaminya. Meski pada orang-orang dia menyebutnya self reward.
Dari luar, rumah sepasang suami istri ini seperti istana kecil yang diberkahi. Setiap subuh, Nur Amin tak pernah luput dari salat berjamaah di masjid. Sepulang dari rumah Allah, sudah pasti ada kopi buatan Syaira menunggu.
Perempuan berkerudung itu selalu berusaha menjadi istri terbaik. Mengurus rumah, menjadi perempuan karir, menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, melayani suami, dan menjaga penampilan. Paket lengkap.
“Ayah, kopinya sudah siap. Mama mau olahraga dulu,” katanya lembut, seusai menyiram bunga di plafon rumah yang membelakangi arah kiblat. Nur Amin tersenyum tipis, tapi matanya seperti menatap jauh—entah ke mana.
Belakangan, Syaira merasakan firasat aneh. Nur Amin sering membawa ponsel ke kamar mandi. Dia kerap khusuk chat dengan alasan bisnis. Ya, Nur Amin seorang pengusaha rumahan, melanjutkan usaha yang dirintis orang tua Syaira.
Sebenarnya, Nur Amin tidak punya kemampuan. Semasa mudanya, dia hanya mengandalkan harta orang tua. Saat orang tuanya jatuh bangkrut, dia syok. Tak punya skill. Tak tahu cara bertahan hidup.
Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya dengan menikahi Syaira. Seorang santri yang memiliki semangat dan gairah hidup luar biasa. Syaira bukan perempuan biasa. Dia mahabisa.
Bahkan, sepanjang pernikahan, Syaira yang menghidupi keluarga. Penghasilan Nur Amin dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Beli parfum, beli baju bermerek hingga jalan-jalan. Namun, saat mulai pegang uang lebih, justru bertingkah.
Pernah sekali, Syaira mencoba bercanda.
“Ayah ini sibuk sekali. Masak mama dianggurin,” Nur Amin tertawa hambar. “Ah, mama ada-ada saja, ayah banyak pesanan,” balasnya.
Jawaban itu mengendap di hati Syaira. Ia tahu, kesibukan suami adalah hal wajar. Tapi entah mengapa, hatinya gelisah. Seperti ada awan mendung yang menutup langit rumah mereka.
Suatu malam, Nur Amin pamit akan pergi ke Malang untuk urusan dagang. Dia tidak sendirian. Rencananya akan membawa anak-anaknya sekalian libura. Tapi, Syaira tidak perlu ikut. Dia diminta fokus pada pekerjaan di kantornya.
“Tiga hari, Ma. Ayah harus ketemu klien penting,” katanya.
Syaira langsung mengiyakan. Namun, hatinya menolak. Setelah Nur Amin tertidur, ponselnya berdering. Tanpa sadar, tangan Syaira meraihnya. Sebuah aplikasi berlogo hijau terbuka. Ada percakapan yang membuat dadanya seperti diremas.
“Rp 500 ribu sekali kencan, deal?” isi pesan itu.
Syaira tertegun. Gigi gerahamnya mendadak kebas, seperti menahan tekanan yang begitu dahsyat. Tangannya gemetar, air mata jatuh membasahi layar. Semua kebaikan, doa, dan pengorbanan—ternyata berhadapan dengan kenyataan yang pahit.
Namun, dia tetap berusaha tenang. Sholawat nabi dia lantunkan pada padang jiwa yang tiba-tiba gersang. Ingin rasanya dia mengkonfirmasi pada Nur Amin soal isi chat itu. Namun, sang suami sedang tidur pulas, Syaira tak ingin mengganggunya.
****
Pagi itu, Syaira menyuguhkan sarapan seperti biasa. Tapi di meja makan, ada percakapan yang ia tahan sejak semalam.
“Ayah, Mama mau tanya. Apa ini?” Ia menunjukkan tangkapan layar percakapan via WA. Nur Amin terdiam, lalu wajahnya memerah. “Apa Ma, itu pesanan dari klien, tawar menawar harga,” katanya, ketus.
Keheningan menggantung. Suara jam dinding terdengar nyaring. Nur Amin bangkit, meraih kunci motor, dan pergi tanpa pamit. Sementara Syaira masih terdiam. Hatinya berkecamuk. Dia yakin, suaminya sedang berbohong.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti teater bisu. Nur Amin jarang bicara, jarang pulang tepat waktu. Syaira mencoba menambal retak itu dengan lebih banyak perhatian. Memasak menu favorit, menyambut dengan senyum, dan merendahkan hati.
Bukan hanya urusan perut sang suami, urusan di bawah perut juga Syaira jabani ddngan penuh agresif. Dia memesan minyak bulus melalui toko online. Dibalur ke bagian-bagian yang sering dikunjungi suaminya saat “bertamasya”.
Perawaran wajah semakin rutin dia lakukan. Tak ada satu pun jerawat hinggap. Kulitnya semakin mulus. Perawakannya semakin muda. Bergairah. Penuh sensual. Semua dia persembahkan untuk suaminya, Nur Amin.
Di tengah shalat malam, ia menangis.
“Ya Allah… Apa kekurangan hamba di hadapan suami? Saya sudah bantu meringankan beban ekonomi, saya sudah mempercantik diri dengan biaya pribadi, tidak pernah saya buat pusing untuk urusan apapun, tapi mengapa dia masih bertingkah?,” kaya dalam dialog bersama sang khaliq.
****
Seberapa pun Syaira berusaha sempurna, Nur Amin tetap saja kembali ke kebiasaan lamanya. Aplikasi hijau itu kembali aktif di ponselnya. Syaira tak lagi kaget. Ia mulai memahami, ini bukan soal kurangnya perhatian atau cinta. Ini soal tabiat.
Suatu malam, ia memberanikan diri bicara.
“Ayah, kalau sampai ayah bertingkah, maka berakhir hubungan kita. Dan, Mama pastikan, tidak ada sedikit pun celah buat Ayah untuk menghubungi anak-anaknya,” kata Syaira.
Nur Amin terdiam. Lalu dia menjawab dengan kalimat singkat. “Apa sih Ma!,” katanya tegas. Seperti yang lalu-lalu, setiap ada persoalan, Nur Amin tak mau membahasnya. Dia akan meminta Syaira melayani, setelah itu persoalan dianggap selesai.
***
Konflik itu menggantung tanpa ujung. Syaira sadar, ia tak bisa mengubah tabiat Nur Amin jika tidak dia sendiri yang ingin berubah. Namun, ia juga tak ingin melihat suaminya semakin tidak terkontrol.
Suatu malam, ia berkata lirih, “Ayah, Mama kurang apa? Apa Mama kurang melayani? Apa Mama kurang membantu meringankan beban dan tanggung jawab Ayah? Kalau Ayah tidak mau menghargai Mama, minimal hargai perjuangan Mama,” katanya.
Nur Amin menatapnya lama, tapi tak menjawab. Hanya ada keheningan yang semakin menebalkan jarak di antara mereka.
Beberapa bulan berlalu. Nur Amin masih pulang, masih tinggal satu rumah, tapi hatinya entah di mana. Aplikasi hijau masih terinstall di HP yang Syaira belikan.
Syaira pun tetap bekerja, tetap tersenyum di hadapan para koleganya, tapi di dalam hatinya ada ruang kosong yang tak terisi. Syaira sadar, suaminya hanya memegang teguh pada komitmen untuk hidup bersama selamanya, tapi dia tidak setia.
Suatu malam, ia kembali berdoa, kali ini dengan pasrah: “Ya Allah, semua upaya sudah hamba lalukan. Hamba berusaha menjadi perempuan sempurna semata hanya ingin dia tidak mencari kesempurnaan di luar sana. Tapi, tabiatnya tak bisa diubah. Saya pasrahkan setiap lembar kisah hidupku pada-Mu ya rabb,”.
Dan, di keheningan malam itu, Syaira merasa ada ketenangan yang turun ke dadanya. Ia belum tahu bagaimana akhir kisahnya, tapi ia yakin, jalan Allah selalu lebih indah dari rencana manusia. (*)
Andra, Penulis Lepas.
—–
Redaksi Klik Madura menerima karya tulis berupa opini, esai, resensi buku hingga karya sastra seperti puisi dan cerpen. Silahkan kirim karya terbaik anda ke email: klikmadura1212@gmail.com.