(Karya : M. Tauhed Supratman)
————-
Oleh: Salam Bin Suib, Mahasiswa Universitas Madura.
KATA “Garam” tidak jauh dari julukan untuk pulau madura, pulau dengan salah satu penghasil garam terbesar di Indonesia, tetapi ini bukan tentang pulau saja ada banyak manusia yang sengsara di balik dinamika perekonomian yang menjadi kesulitan masyarakat madura.
Suatu hal yang memang sangat sedih melihat perjuangan hidup seorang anak garam dalam mencari nafkah sekaligius mengghidupi dirinya sendiri.
Kehidupan “anak – anak garam” juga di warnai nilai – nilai kearifan lokal dan nilai – nilai kereligiusan sehingga terkenal dengan julukan gerbang salam, kota dzikir dan sholawat, dan lain semacamnya. Begitulah makna kehidupan Masyarakat madura. Sebelum kita menganalisisnya mari kita Simak puisi Anak – Anak Garam.
ANAK – ANAK GARAM
rasa terik mentari. seperti anak-anak garam bersyair
tentang orasi garam dan riset hujan
kemakmuran air sesekali mencibir
jangan teriak apa makna derita
selaksa sia-sia dan terima asa
paderen garam
jadi ladang jiwa
kembara sukma
terik mentari bagi
tiap anak-anak garam
ada saja yang meronta jiwa
langit kelabu
tetes gerimis
tak kuasa taklukan jenuh
pada panas, pada hangus
hidup ber-Ibu pertanda makna
anak-anak garam
taruhkan jiwa raga,
tentang panas surya
demi bahagiakan anak cucu…..
Dalam isi puisi ini, sebagai cerminan orang Madura, yang tidak terhindar dari suasana kehidupan yang penuh perjuangan memenuhi kebutuhan hidup yang tidak berkecukupan, sebagai “anak garam” tentu memang sangat pedih dalam menjalani kehidupan.
Terkadang bekerja sampai berbulan-bulan dengan mata pencaharian sebagai nelayan tentu sangat tidak memungkinkan dengan hasil yang sudah di usahakan, meskipun menjadi kuli bangunan, hasilnya memang lumayan tetapi rasa lelah dan letih tetap tidak bisa di hindarkan.
Meski keterbelakangan perekonomian, budaya religious orang Madura, tetap lekat dan kental, rasa syukur dengan hasil yang sudah di dapat.
Nilai – nilai ke religiusan orang Madura memang sangat kental, perkembangan zaman yang sangat signifikan orang madura tetap berpegang teguh terhadap nilai – nilai ketuhanan dan sosial yang di anut masyarakat yang tetap di jaga dari dulu sampai sekarang.
Dalam ruang lingkup sosial individualisme sangat tabuh bagi Masyarakat madura, Masyarakat madura lebih memprioritaskan sosialisme sebagai kebiasaan atau adat istiadat setiap harinya, memang setiap wilayah Madura.
Antara lain, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep berbeda-beda dalam menjalani suatu adat atau kebiasaan, akan tetapi kebiasaan tersebut tetap berlandaskan historis nenek moyang atau leluhur orang Madura.
Dalam penggalan puisi tersebut ada makna kebudayaan atau adat anak garam yang meliputi aspek adat istiadat berupa sikap yang saling menghormati kepada sesama idividu, seperti itulah yang di ungkapkan oleh sang penyair, dalam bait “hidup ber-Ibu pertanda makna anak-anak garam”.
Makna konotasi yang sampaikan penyair, bermakna di setiap kehidupan anak – anak garam dengan ketaatan terhadap orang tua apabila ingin mencari nafkah ataupun merantau ke luar kota dengan meminta izin dan restu kepada kedua orang tua, “hidup ber-ibu” bermakna restu kedua orang tua khusunya ibu sebagai senjata atau pegangan hidup anak – anak garam dalam menjalani kehidupan, kesuksesan anak – anak garam tidak pernah jauh dari kata mudah.
Di sisi lain “langit kelabu, tetes gerimis, tak kuasa taklukkan pada jenuh, pada panas” rasa perjuangan yang sangat tinggi di dalam anak – anak garam, meski mendung sampai hujan pun tak kenal rasa lelah dalam mencari nafkah dengan tujuan “demi kebahagian anak cucu…,”
Begitulah makna dalam puisi tersebut yang di angkat dari suasana kehidupan dan dinamika prekonomian anak – anak garam. (*)